2. Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin,
tanggungjawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam
berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan
pergaulan dan keberadaannya
2.1 Berperilaku sportif dalam bermain
Fair Play
Fair play berarti
semua peserta memiliki kesempatan yang adil untuk mengejar kemenangan dalam
olahraga kompetitif, memiliki kemampuan meraih kemenangan melalui sikap yang
elegan dan sportif (Armando, 2010). Fair play mensyaratkan
bahwa semua kontestan memahami dan mematuhi tidak hanya kepada aturan formal
dari permainan tetapi juga aturan main yang tidak tertulis
(Shields&Bredemeier, 1995) dalam Robert S. Weinberg., Daniel Gould (2007).
Sedangkan menurut Amansyah, (2010) fair play merupakan sikap
mental yang menunjukkan martabat ksatria pada olahraga. Nilai fair play melandasi
pembentukan sikap, dan selanjutnya sikap menjadi landasan perilaku. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa fair play adalah pemberian
kesempatan yang sama untuk menang kepada kedua tim yang bertanding. Seluruhnya
harus menjunjung tinggi peraturan yang berlaku dan tetap menjaga persahabatan
di tengah-tengah besarnya semangat persaingan, oleh karena itu dalam pandangan
masyarakat hal tersebut akan memiliki nilai yang tinggi.
Sebagai
contoh dalam olahraga sepakbola, setiap pemain pasti ingin menunjukkan
kemampuan individualnya saat memainkan bola. Guna menguasai bola, kerapkali
harus terjadi benturan fisik saat saling berebut bola di lapangan. Oleh karena
itu, bagian terpenting dalam pembinaan pemain muda sepakbola adalah menciptakan
karakter yang baik, dimana seorang pemain sepakbola bisa mengendalikan diri
dalam keadaan apapun, dan senantiasa bersikap disiplin. Inilah yang menjadi
dasar dari perilaku olahragawan atau fair play.
FIFA
sebagai organisasi sepakbola dunia, sejak Piala Dunia 1990 sangat gencar
mempropagandakan fairplay, dan secara resmi logo fairplay yang
dikenal dengan slogan “My Game is Fair Play” diumumkan pada
tahun 1993. Sejak saat itu, tradisi pemberian penghargaan kepada insan
sepakbola yang dinilai mampu memberikan teladan yang baik bagi masyarakat
sepakbola dunia kian gencar diberikan. FIFA kemudian menciptakan “Golden
Rule” yang diharapkan bisa menjadi pedoman bagi seluruh insane
sepakbola dunia. Armando Pribadi (2010), secara sederhana dan ringkas
mengartikan “Golden Rule” FIFA sebagai berikut:
1. Jangan
bermain membahayakan pemain lawan.
2. Hormati
aturan main dan jalankan dengan baik semua instruksi official.
3. Hormati
lawan seperti selayaknya kolega kita di sepakbola.
4. Tetap
mampu memperlihatkan sikap menjunjung tinggi disiplin, walaupun dalam situasi
yang sulit atau tidak mengenakkan.
5. Berikan
dukungan terhadap siapapun yang berupaya mengenyahkan tindakan curang dalam
pertandingan.
6. Tunjukkan
perhatian besar terhadap pemain yang cedera dengan segera menghentikan
pertandingan dalam situasi apapun.
7. Jangan
pernah punya niat untuk balas dendam terhadap kesalahan yang dilakukan pemain
lain.
8. Main
sesuai dengan perintah tiupan peluit wasit.
9. Rendah
hati saat merayakan kemenangan, serta berjiwa besar dalam menerima kekalahan.
10. Memberikan
penghargaan terhadap individu atau lembaga yang secara luar biasa telah
menjunjung tinggi sikap-sikap fair play.
Olahraga dengan segala
aspek dan dimensinya yaitu mengandung unsur pertandingan dan kompetisi,
harus disertai dengan sikap dan perilaku berdasarkan kesadaran moral. Implementasi
pertandingan tidak terbatas pada ketentuan yang tersurat, tetapi juga
kesanggupan mental menggunakan akal sehat. Kepatutan tindakan itu bersumber
dari hati nurani yang disebut dengan istilah fair play. Model kompetisi
yang dijiwai fair play telah diimplementasikan pada kompetisi nasional dalam
forum Olimpiade Olahraga Sekolah Nasional (O2SN) dan forum internasional, yaitu
ASEAN Primary School Sport Olympiade (APSSO). Hasilnya berpengaruh positif dan
menggembirakan karena penerapan tersebut berimplikasi pada perilaku
peserta kompetisi yang lebih mencerminkan jiwa sportivitas, kejujuran,
persahabatan, rasa hormat, dan tanggung jawab dengan segala dimensinya. Istilah
fair play terkandung makna bahwa setiap penyelenggaraan olahraga harus dijiwai
oleh semangat kejujuran dan tunduk pada tata aturan, baik yang
tersurat maupun tersirat. Setiap pertandingan harus menjunjung tinggi
sportifitas, menghormati keputusan wasit/juri, serta menghargai lawan, baik
saat bertanding maupun di luar arena pertandingan. Kemenangan dalam suatu
pertandingan sangat penting, tetapi ada hal yang lebih penting lagi yaitu
menampilkan keterampilan terbaik dengan semangat persahabatan. Lawan bertanding
sejatinya adalah juga kawan bermain. Pendidikan olahraga adalah wahana yang sangat
ampuh bagi persemaian karakter dan kepribadian anak bangsa apabila dikembangkan
secara sistematis. Olahraga mengandung dimensi nilai dan perilaku sportif yang
multi dimensional. Pertama, sikap sportif, kejujuran, menghargai teman dan
saling mendukung, membantu dan penuh semangat kompetitif. Kedua, sikap kerja
sama, team work, saling percaya, berbagi, saling
ketergantungan, dan kecakapan membuat keputusan bertindak. Ketiga, sikap dan
watak yang senantiasa optimistis, antusias, partisipasi, gembira, dan humoris.
Keempat, pengembangan individu yang kreatif, penuh inisiatif, kepemimpinan,
determinasi, kerja keras, kepercayaan diri, kebebasan bertindak, dan kepuasan
diri. Keunggulan pendidikan olahraga dalam pembentukan karakter terletak pada
konkretisasi nilai-nilai ke dalam perilaku yang merupakan suatu ciri
yang tidak mudah dilakukan pada substansi yang lain dalam kurikulum dan
pembelajaran yang cenderung teoristik, abstrak, dan verbalistik. Moral
karakter berhubungan erat dengan perilaku dan nilai-nilai yang dapat
didefinisikan sebagai sikap yang konsisten untuk merespons situasi melalui
ciri-ciri seperti kebaikan hati, kejujuran, sportifitas, tanggung jawab, dan
penghargaan kepada orang lain tetapi nilai-nilai yang lebih penting dalam
konteks pendidikan dan psikologi, yaitu pembentukan karakter dan kepribadian,
masih kurang disadari. Peran olahraga kian penting dan strategis dalam konteks
pengembangan kualitas sumber daya manusia yang sehat, mandiri, bertanggung
jawab, dan memiliki sifat kompetitif yang tinggi.
Fair play adalah
kebesaran hati terhadap lawan yang menimbulkan perhubungan kemanusian yang
akrab dan hangat dan mesra. Fair play merupakan kesadaran yang selalu melekat,
bahwa lawan bertanding adalah kawan bertanding yang diikat oleh pesaudaraan
olahraga. Jadi fair play merupakan sikap mental yang menunjukkan martabat
ksatria pada olahraga. Nilai fair play melandasi pembentukan sikap, dan
selanjutnya sikap menjadi landasan perilaku. Sebagai konsep moral fair play
berisi penghargaan terhadap lawan serta harga diri yang berkaitan antara kedua
belah pihak memandang lawannya sebagai mitranya. Keseluruhan dan upaya dan
perjuangan itu dilaksanakan dengan bertumpu pada standar moral yang di hayati
oleh masing-masing belah pihak. Fair play adalah suatu bentuk harga diri yang
tercermin dari : (1) Kejujuran dan rasa keadilan; (2) Rasa hormat kepada lawan,
baik dalam kekalahan maupun dalam kemenangan; (3) Sikap dan perbuatan ksatria,
tanpa pamrih; (4)Sikap tegas dan berwibawa, apabila terjadi apabila lawan atau
penonton tidak berbuat fair play; (5) Kerendahan hati dalam kemenangan, dan
ketenangan pengendalian diri dalam kekalahan.
Fair play itu menyatu
dengan konsep persahabatan dan menghormati yang lain dan selalu bermain dalam
semangat sejati. Fair play dimaknakan sebagai bukan hanya unjuk perilaku dan
menyatu dengan persoalan yang berkenaan dengan dihindarinya ulah penipuan, main
berpura-pura atau, doping, kekerasan (baik fisik maupun ungkapan kata-kata),
eksploitasi, memanfaatkan peluang, komersialisasi yang berlebih-lebihan atau
melampui batas korupsi. Fairplay dapat digambarkan dengan istilah” semangat
olahragawan sejati”, yang mengungkapkan bagaimana seseorang bermain serta
bagaimana cara bersikap dan bertindak terhadap orang lain baik pada saat
bermain maupun pada saat lainnya yang masih berkaitan dengan situasi
pertandingan. Fair play akan terwujud apabila terpenuhi perilaku tersebut di
atas, dan sangat dibutuhkan kesungguhan keberanian moral dan keberanian untuk
menanggung resiko. Dalam kaitan ini dibutuhkan sikap ksatria yang menolak
kemenangan dengan segala cara.
Nilai dalam fair play
merupakan rujukan perilaku, sesuatu yang dianggap “luhur” dan menjadi pedoman
hidup manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam bidang keolahragaan,
persoalan ini kian relevan untuk dibahas. Kecenderungan sikap dan partisipasi
dalam tindakan dari sekelompok warga masyarakat, termasuk organisasi induk
olahraga, yang berusaha untuk meningkatkan prestasi, membangkitkan masalah yang
semakin kompleks dan mendalam, hal ini dikarenakan nilai-nilai ideal olahraga
makin luhur, di geser oleh nilai “baru” sebagai konsekuensi dari perubahan
sosial. Kegiatan dalam keolahragaan merupakan cerminan dalam lingkup kecil dari
tatanan masyarakat yang lebih luas. Nilai dalam masyarakat telah berubah, dan
hal itu juga berdampak nyata ke dalam olahraga.
Penerapan fair play atau
sportifitas sebagai nilai inti dalam bidang olahraga menjadi persoalan yang
menonjol dewasa ini. Tantangannya muncul dalam aneka perilaku atlet,
pelatih,ofisial, dan bahkan juga dari kalangan insan pers. Permasalahan yang
paling menonjol adalah upaya memperoleh kemenangan yang disertai
dengan upaya bukan mengandalkan keunggulan teknik dan taktik dan yang
diperagakan adalah gejala kekerasan dalam olahraga dan kecendrungan untuk
memaksakan kehendak, seperti mencampuri keputusan wasit. Sebaliknya, wasit itu
sendiri dalam beberapa kasus masih belum mampu untuk berdiri sendiri dalam
beberapa kasus masih belum mampu untuk berdiri di tengah-tengah, tanpa memihak,
sesuai dengan fungsinya.
Olahraga dieksploitasi
oleh politik, ideologi, dan dagang karena olahraga sangat tenar dan digemari.
Bahkan sekarang ini, sejak logika politik berubah menjadi logika ekonomi,
pengelolaan olahraga dengan tujuan yang bersifat komerssialisasi sangat menonjol,
dan bila kita tidak waspada, ancaman terhadap fair play semakin besar. Olahraga
mengalami bahaya untuk kehilangan sifat-sifatnya yang murni, yang semestinya
olahraga berisi pertandingan yang bersifat ksatria dan membentuk kepribadian,
dapat berubah menjadi perjuangan yang tidak kenal ampun, yang dikuasai oleh
pikiran prestise, popularitas dan uang. Keadaan demikian perlu disosialisasikan
sejak dini, sejak seseorang mulai belajar olahraga dengan maksud untuk
melindungi olahraga dari bahaya-bahaya yang mengancamnya. Berkenaan dengan hal
ini kiranya perlu disebarluaskan di Indonesia, gagasan dan praktik berolahraga
yang dijiwai oleh semangat sportifitas dan alangkah baiknya jika selalu dapat
diterapkan praktik-praktik yang memperkokoh pengalaman prilaku yang adil dan
jujur. Sangat tepat apabila dilembagakan pemberian penghargaan kepada berbagai
pihak yang menjadi pelaku olahraga yang menunjukkan perilaku yang terpuji yang
meliputi dalam konsep fair play.
Tindakan fair play
diperlukan pada kompetisi-kompetisi olahraga dimana semua peserta memiliki
kesempatan dan peluang yang sama untuk menjadi pemenang. Tindakan fair play
tidak hanya membutuhkan pemahaman dan ketaatan pada peraturan-peraturan formal
suatu permainan, tetapi juga pada semangat kerjasama dan peraturan tidak
tertulis yang ada untuk membuat sebuah permainan atau pertandingan bersifat
adil. Dalam hal inilah peran orangtua, pelatih, dan official untuk mengenalkan
secara intensif tindakan fair play sejak dini selama jenjang karir peserta
didik.
Sportivitas
Sportivitas
adalah komponen kedua dari moralitas dalam olahraga. Shields dan Bredemeier
dalam Robert S. Weinberg., Daniel Gould (2007) berpendapat bahwa sportivitas
melibatkan intens berjuang untuk berhasil, komitmen terhadap semangat bermain
sehingga standar etika akan lebih diutamakan daripada keuntungan strategis
ketika konflik. Sebagai contoh pada pertandingan Liga Utama ke Sembilan
Iran tanggal 28 Januari 2010 antara klub Moghavemat Sepasi melawan
Steel Azin. Tindakan sportif dan fair play yang ditunjukkkan
Amin Mutavassel Zadeh, striker klub Moghavemat Sepasi, di saat tinggal
menjebloskan bola ke dalam gawang ia malah menendangnya jauh-jauh keluar
lapangan, karena kiper Steel Azin tergeletak tak berdaya setelah sebelumnya
berbenturan dengan peman Moghavemat Sepasi yang lain. Tindakan tersebut
dilakukan agar tim medis bisa memeriksa kiper yang cedera tersebut.
Pertandingan tersebut berakhir dengan kemenangan Steel Azin 2-1 atas Moghavemat
Sepasi, jika Amin Mutavassel Zadeh menjebloskan bola ke gawang, golnya tetap
dinilai sah, dan hasil akhirnya tentu berbeda.
![]() |
Berdasarkan contoh di atas dapat ditunjukkan bahwa
atlet menentukan sportivitas sebagai kepedulian dan rasa hormat terhadap aturan
main, wasit, lawan, dan tidak melakukan upaya yang curang untuk memenangkan
sebuah pertandingan.
Perilaku sportif dalam
olahraga melibatkan sebuah kerja keras menuju sukses yang berkelanjutan yang
didukung dengan sifat dan komitmen pada semangat permainan, sehingga
etika-etika standar dalam olahraga tersebut dapat lebih dipentingkan daripada
kepentingan strategi permainan ketika keduanya berselisih, dengan kata lain
seorang atlet akan berlaku sportif meskipun itu bisa menyebabkan kekalahan
dalam suatu pertandingan. Juara tenis terbuka Patrick Raffer menunjukkan
Perilaku sportif dalam olahraga pada saat dia menerima saat diberitahu bahwa
keputusan hakim garis tidak benar, meskipun itu berarti kekalahan baginya.
Perilaku sportif
olahraga berdasarkan pada pemahaman dasar konsep olahraga para atlet. Seorang
psikolog olahraga asal Canada, Robert Vallerand dan rekan-rekannya mengadakan
sebuah penelitian yang bertujuan untuk memahami bagaimana para atlet itu
sendiri memahami Perilaku sportif olahraga. Secara khusus penelitian tersebut
mengadakan survey terhadap 1.056 atlet Perancis dan Canada yang berusia antara
10-18 tahun yang mewakili tujuh cabang olahraga yang berbeda. Penelitian ini
meneliti tentang Perilaku sportif olahraga dengan melakukan survei langsung
pada para atlet. Terdapat lima faktor yang mempengaruhi Perilaku sportif dalam
olahraga terungkap dalam penelitian ini. Kelima faktor tersebut adalah:
(1) Komitmen penuh pada
keikutsertaan (berpartisipasi dan bekerja keras selama latihan dan
pertandingan, mempelajari kesalahan dan berusaha untuk memperbaiki);
(2) Menghormati dan
memperhatikan peraturan dan ofisial (bahkan saat offisial tampak kurang
kompeten);
(3) Menghormati dan
memperhatikan kebiasaan-kebiasaan sosial (berjabat tangan setelah pertandingan,
mengakui penampilan baik dari lawan, menjadi pihak kalah yang baik);
(4) Menghormati dan
memperhatikan lawan (meminjamkan peralatan pada lawan, setuju untuk tetap
bertanding meskipun tim lawan dating terlambat, menolak untuk mengambil
keuntungan saat lawan cedera);
(5) Mencegah perilaku
dan sifat-sifat buruk dalam keikutsertaan (menolak sebuah pendekatan untuk
menang dengan cara apapun, tidak menunjukkan kemarahan setelah membuat
kesalahan, tidak berkompetisi hanya untuk penghargaan dan hadiah perorangan).
Kesimpulan penelitian
tersebut adalah mengisyaratkan bahwa para atlet mengartikan perilaku sportif
olahraga sebagai “menghormati dan memperhatikan peraturan-peraturan, kebiasaan
sosial, pihak lawan, serta komitmen penuh seseorang pada sebuah olahraga dan
ketiadaan pendekatan-pendekatan negatif dalam keikutsertaan olahraga.
Dapat disimpulkan bahwa
perilaku sportif olahraga bisa diterima secara luas dalam semua cabang
olahraga. Perilaku sportif dalam olahraga harus diklasifikasikan secara
spesifik, karena hal tersebut berkaitan dengan jenis olahraga, level
pertandingan, dan umur peserta. Namun meskipun tidak terdapat pengertian secara
umum tentang perilaku sportif olahraga, sangat penting bagi kita untuk
mengidentifikasi setiap perilaku sportif olahraga dan berusaha untuk
mengembangkan pengertian spesifik dari hal tersebut karena kita bekerja secara
profesional dalam olahraga, pendidikan olahraga, dan lingkup kepelatihan.
sumber
: http://saddamdewana.blogspot.co.id/2016/04/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html
https://pustakaolahraga.wordpress.com/2012/12/22/pengembangan-karakter-fair-play-dan-sportivitas-melalui-sepakbola/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar